Pahlawan Tak Dikenal

Pahlawan Tak Dikenal

Smallest Font
Largest Font

PORTALBOGOR.COM, OPINI - Agak kagok sebetulnya saya buat judul tulisan kali ini. Mana ada seorang pahlawan yang tak dikenal? Namanya juga seorang pahlawan, maka ia pasti dikenal banyak orang. Gelar atau embel-embel pahlawan itu justru hadir karena ia melakukan sesuatu yang mengakibatkan hadirnya nilai kepahlawan pada dirinya. Namun memang ada pula pahlawan yang mendapatkan gelar kepahlawan itu justru karena ia tak melakukan sesuatu.

Misal, seandainya dulu Tuhan tidak hanya menciptakan manusia laki-laki pertama, melainkan dua manusia laki-laki yaitu Adam dan Asep. Maka memungkinkan sekali bahwa yang bakal tercatat menjadi pahlawan dalam sejarah kemanusiaan ialah Asep, karena ia tidak memakan buah khuldi.

Saat Adam sedang sibuk mencermati hingga tergoda untuk memakan buah khuldi, Asep sedang tidur mendengkur tak karuan dikamarnya. Justru karena tidurnya itulah yang membikin Asep untuk tetap tinggal di surga, dan sudah cukup untuk membuatnya menjadi pahlawan. Sedangkan Adam harus hengkang dari surga.

Kalau pun kita diminta buat milih; mau memilih menjadi anak keturunan siapa? Apakah anak keturunan Adam atau Asep? Kayanya banyak sekali yang bakal memilih menjadi anak keturunan Asep. Daripada menjadi anak keturunan Adam yang banyak menimbulkan peperangan, korupsi, penyelewengan, LGBT, pertumpahan darah, dll. Mending jadi anak keturunan Asep, gawenya cuman tidur aja di surga, pas bangun bisa langsung main catur, atau mabar mobile legend dan PUBG.

Ketika Nilai yang Hilang Dan Hadirnya Kepalsuan

Satu hal yang pasti, terkadang –bahkan terbilang sering sekali- sejarah manusia sampai pada kondisi bahwa perbuatan baik bukan hanya tidak diperlombakan, namun justru dipandang remeh-temeh hingga diolok-olok. Orang yang bersikeras berbuat baik malah dibilang “sok pahlawan”, entah udara semacam apa yang dihirupnya hingga ia berpandangan demikian. Kalau pun ada orang yang memiliki “masker” untuk menangkal udara aneh tersebut, juga dituduh tak waras.

Perdebatan hingga pertengkaran –bahkan tingkatan masyarakat sipil- sangat memungkinkan terjadi. Hampir setiap menit huru-hara terjadi di twitter, setiap sepuluh detik muncul tuduhan negatif terhadap upaya aksi kebaikan di tiktok, hingga pemberitaan yang timpang sengaja dimunculkan di televisi.

Pada kondisi tersebut, variabel atas kepahlawan menjadi hilang, orang tak tahu lagi nilai yang harus dipegang karena standarnya kabur dan mudah sekali diganti. Keburukan berwajah kebaikan, kejahatan berwajah kemuliaan, namun kebaikan dan kemuliaan justru tak sempat merias dirinya sendiri.

Mereka yang maling justru yang paling keras berteriak “maling!”. Koruptor menghimbau masyarakat akan bahayanya tindakan korupsi. Hukum justru dilanggar oleh mereka yang ahli dan paham dibidang hukum. Agama dan kemanusiaan hanya mampu hadir diruang 10x15 meter, dan tidak dibumikan kedalam ruang kehidupan. 

Kisah Pahlawan Tak Dikenal

Saat lelah karena telah dipertontonkan oleh berbagai macam kondisi yang semrawut itu, disetiap pagi, ada Pak Asep yang selalu tepat waktu sebelum matahari memunculkan diri, pak Asep telah berangkat bekerja ke kebun milik orang lain untuk ia urusi. 

Dengan pakaian kaos pendaki gunung –yang entah dari siapa-, topi yang telah usang, celana bahan hitam yang terlalu panjang dan tak pernah disetrikanya itu, Pak Asep telah memulai kerjanya dengan senyuman khasnya dan menyapa orang yang ia temui. Jika ada rumput yang sudah tinggi, maka ia harus potong dengan mesin rumput yang harus ia sewa tanpa diberikan fasilitas sewanya, artinya uang sewanya itu diambil dari hampir setengah gajinya sendiri. Tapi ia tetap sabar dan ikhlas menjalani pekerjaan sebagai buruh, tukang kebun, bagian dari kehidupannya.

Sadar akan kurangnya gaji ditempat ia bekerja, ia begitu malu kepada anak dan istrinya bahwa hasil keringat seharian belum cukup untuk membeli beras dan lauk, bahkan untuk sekolah anak-anaknya. 

Sebagai laki-laki, ia pantang untuk menyerah dan jika pekerjaannya di sekolah sebagai buruh kebun telah selesai, Pak Asep mencoba peruntukan keberuntungannya ke lahan kebun resort orang asing yang tak jauh dari rumahnya. 

Pak Asep memotong rumput di resort milik orang asing itu, resort yang dibeli dengan paksa kepada warga melalui oknum perangkat Desa dengan harga tanah permeternya hanya seikat kangkung. Namun apalah daya, para pribumi tak punya kuasa, demonstrasi yang mereka lakukan justru harus berhadapan dengan para preman yang membawa senjata tajam atas suruhan oknum Desa.

Pak Asep sebagai pribumi yang tak punya daya dan upaya, akhirnya menjadi buruh kebun dengan penghasilan saban hari dibayar setengah bungkus rokok. Kini Pak Asep memotong rumput diatas lahan yang dulu itu miliknya, dan ternyata ia tak sendiri. Ia melihat sekelilingnya merupakan kawan-kawannya yang dulu mereka semua adalah petani yang dapat hidup cukup untuk kebutuhan keluarganya dirumah. Kini, kawan-kawannya itu bernasib sama seperti dirinya, menjadi pekerja buruh harian lepas di resort itu yang penghasilannya juga tak seberapa.

Pada malam hari, ada Pak Asep yang lainnya –entah kebetulan atau memang diksi yang dimiliki orang sunda terbatas, hingga memberi nama Asep, nama yang begitu banyak dimiliki orang sunda-. Pak Asep ini berjualan cuanki, ia berjalan dari kampung ke kampung, gang-gang semalaman suntuk. Berjalan dengan memakai sandal swallow dan memikul gerobak cuanki, ia membunyikan botol beling kosong dan memanggil, “ ting.. ting, ting, cuankiii..” kepada orang-orang yang sudah waktunya untuk tidur. Upaya berbisnis yang tak logis, bahkan bisa dibilang itu bentuk demonstrasi keyakinan mutlak atas rezeki dari Allah.

Setiap kali Pak Asep berhenti berjalan memikul cuanki, ia memandangi jendela-jendela rumah, berharap ada yang memesan cuankinya. Namun naas, tak ada yang memesan bahkan sekedar suara balasan. Pak Asep kecewa, dan berapa ribuan kekecewaan yang telah ia dapatkan. Pak Asep terima semua dengan penuh ikhlas dan lapang dada, itulah yang membuat badannya tetap sehat dan bugar untuk tetap dapat berjalan memikul gerobak cuanki.

Padahal, hampir sepuluh tahun yang lalu, Pak Asep memiliki kios kecil tempat usahanya berjualan ditempat yang strategis. Saat itu, ia memiliki penghasilan yang terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dirumah. Namun naas, dengan dalil berjualan ditempat "liar", pemerintah menjarah kios tempat usahanya. Ratusan teman-teman pedagangnya pun bernasib sama. Kini mereka berjalan memikul gerobaknya terkatung-katung entah kemana langkah kaki membawanya demi mencukupi kebutuhan dapur.

Sedangkan, mereka tahu bahwa ratusan vila berdiri dibelakang kiosnya dan berdiri diatas tanah yang dilarang mendirikan bangunan oleh peraturan perundang-undangan. Karena daerah itu adalah kawasan resapan air. Namun hanya karena pemiliknya orang berpangkat, berbintang dan punya modal. Vila itu tetap kokoh berdiri, bahkan semakin marak pembangunan liar tanpa izin.

Seandainya Pak Asep buruh kebun dan Pak Asep yang berjualan cuanki punya mentalitas maling, maka mereka tak akan tahan atas penghasilan yang didapatkan, saban hari hanya lima atau tujuh ribu rupiah yang dapat mereka bawa untuk anak istri dirumah. Tapi mereka tak lakukan itu, mereka justru memilih untuk tetap menjadi buruh kebun dan berjualan cuanki. 

Belajar Dari Pahlawan Tak Dikenal: Warga Kelas III yang Berpihak Pada Nilai

Menjadi buruh kebun atau berjualan cuanki memang tak cukup jika dijadikan syarat mendapatkan gelar pahlawan. Tetapi memilih untuk menjadi buruh kebun dan berjualan cuanki, dibandingkan menjadi maling, copet, mencuri adalah tindakan kepahlawanan kemanusian yang tinggi.

Buruh kebun dan tukang cuanki menjadi pahlawan karena mereka tidak melakukan korupsi yang dapat merugikan orang banyak hingga negara. Kecil kemungkinan juga mereka dapat terlibat dengan riba. Mereka tidak juga menuntut hormat, tak seperti pejabat korup yang arogan kepada bawahan dan merugikan rakyat. Atau mereka juga tidak merasa menjadi pahlawan, tak seperti relawan-relawan yang menjual kemiskinan rakyat sebagai dalil. 

Buruh kebun dan tukang cuanki menjadi pahlawan justru karena mereka tak melakukan banyak perbuatan dosa atau pengkhiatan secara sistemik, baik itu dilakukan oleh perorangan ataupun golongan demi kepentingannya.

Pak Asep buruh kebun dan Pak Asep yang berjualan cuanki telah memberikan suatu pembelajaran kepada kita bahwa yang selama ini kita puja, kita abdikan, hanyalah sebatas materi, hedonisme, feodalisme, atau yang lainnya. Kita tidak meluhurkan nilai kejujuran, kebaikan dan keikhlasan. Kebiasaan sehari-hari kita justru berlaku apatis dan “gila hormat” kepada atasan walaupun tahu ia berlaku salah, sedangkan kepada buruh kebun dan tukang cuanki, kita memandangnya remeh-temeh hingga terkesan mengolok-olok.

Pada Minggu pagi, 31 Desember 2023, saya bertemu Pak Asep dan bilang; Selamat Tahun Baru, Pak Asep. Ia menjawab; gk kerasa ya? Ternyata udah tahun baru lagi. Ucapnya sambal tersenyum. Tak lama ia pandangi langit, kala itu biru cerah. Sorot matanya terlihat menyiratkan harapan dan keikhlasan.

Tiba-tiba saya teringat akan puisi yang pernah dilantunkan oleh guru teater di SMA. Puisi karya Toto Sudarto Bachtiar, judulnya Pahlawan Tak Dikenal. Puisi yang mengkisahkan para pejuang, para pahlawan. Namun karena tidak terkenal, membuat nama dan jasanya luput dari sejarah. Padahal mereka telah berkorban besar untuk bangsa Indonesia.

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring

Tetapi bukan tidur, sayang

Sebuah peluru bundar di dadanya

Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda.***

Editors Team
Daisy Floren