OPINI: Hari Hak Asasi Manusia Sedunia Dan PR Kemanusiaan di Indonesia

OPINI: Hari Hak Asasi Manusia Sedunia Dan PR Kemanusiaan di Indonesia

Smallest Font
Largest Font

PORTALBOGOR.COM, CICURUG - Pada tahun 1948, Majelis Umum PBB mendeklarasikan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilanjutkan dengan keluarnya resolusi 423 pada tahun 1950 untuk menyerukan kepada seluruh anggota negara PBB termasuk Indonesia guna menetapkan 10 Desember sebagai Hari Hak Asasi Manusia.

Sejak saat itu, setiap tanggal 10 Desember 2023 menjadi hari untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia secara universal.

HAM adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap orang sejak lahir dan secara kodrat melekat pada diri manusia. Maka hak yang secara fundamental telah melekat pada diri manusia itu, harus dipenuhi oleh setiap orang.

Seperti hak untuk hidup, hak beragama, hak kesetaraan dihadapan hukum, hak kebebasan berpendapat, dan sebagainya agar terus dijaga dan dirawat.

Namun peringatan Hari Hak Asasi Manusia jangan hanya dijadikan sebagai bentuk seremonial saja, tetapi kita refleksi Hari Hak Asasi Manusia sebagai bentuk upaya peningkatan kualitas nilai-nilai HAM di Indonesia.

Ketika Hari Hak Asasi Manusia Sedunia Berujung Seremoni Belaka

Di Indonesia Hak Asasi Manusia harus dijunjung tinggi, dilindungi dan dihormati oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat martabat manusia sebagaimana tertera dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Meskipun telah dilindungi tetapi masih terdapat banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM yang dipicu dari berbagai konflik antar suku, etnis, dan agama serta perseteruan antara masyarakat sipil dan pihak perusahaan terkait sengketa tanah dan lahan juga konflik dari dinamika publik yang tidak puas kepada kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro terhadap rakyat.

Kriminalisasi terhadap aktivis, mahasiswa, dan kelompok masyarakat lain yang mendapatkan perlakuan represif, penculikan dan pembunuhan oleh aparatur negara dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap publik menjadi sebuah catatan historis kelam untuk Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Bahkan hingga saat ini kasus pelanggaran HAM masih banyak yang belum tuntas dan bersifat bias. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan politik rezim yang untuk mempertahankan kekuasaan.

Menurut Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) terdapat sekitar 15 pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia yang 3 diantaranya telah diselesaikan melalui UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yaitu peristiwa Tanjung Priok 1948, peristiwa Timor Timur, dan persitiwa Abepura pada tahun 2000.

Selain itu, terdapat juga 12 kasus pelanggaran HAM berat yang hingga saat ini belum terungkap, yang diantaranya:

1. Peristiwa 1965-1966;

2. Penembakan Misterius 1982-1985;

3. Peristiwa Talangsari Lampung 1998;

4. Peristiwa Tri Sakti, Peristiwa Semanggi 1 dan 2;

5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;

6. Kerusuhan Mei 1998;

7. Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999;

8. Peristiwa Jambu Keupok Aceh 2003;

9. Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;

10. Peristiwa Geudong Aceh 1998;

11. Peristiwa Paniai 2014;

12. Peristiwa Pasior dan Wamena 2001.

Uraian tersebut hanya segelintir dari peristiwa yang terjadi atas kepentingan dan kekuasaan politik rezim dan peristiwa lain yang hingga saat ini masih tertutup dan belum terungkap.

Dugaan Pelanggaran HAM di Rempang Eco City; Bangun Proyek Strategis Nasional, Kubur Kemanusiaan

Terlebih kasus terbaru tentang adanya dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Rempang pada tanggal 7 dan 11 September 2023 kemarin akibat dari konflik agraria.

Konflik yang berawal dari keputusan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang berencana menjadikan Rempang sebagai pusat kawasan industri, jasa dan pariwisata yang bernama Rempang Eco City. Proyek ini bahkan masuk kedalam Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat.

Dalam pembangunan Rempang Eco City tersebut terdapat penolakan dari warga sekitar yang tidak mau direlokasi, bentrokan antara masyarakat sipil dengan aparat gabungan TNI, Polri, Direktorat pengaman aset BP Batam pun tidak dapat terhindarkan.

Komnas HAM mengungkap peristiwa tersebut yang menyatakan bahwa terdapat indikasi pelanggaran HAM dalam serangkaian bentrokan penolakan pada proyek Rempang Eco City.

Komnas HAM menilai bahwa aparat pengamanan telah menurunkan kekuatan berlebih dengan menembakan gas air mata kepada masa aksi yang mengakibatkan demonstrasi semakin tidak kondusif.

Bahkan gas air mata yang ditembakan oleh aparat masuk ke area sekolah SDN 24 Galang dan SMP 22 Galang yang menimbulkan dampak kepada peserta didik dan guru yang mengalami syok berat, tegang dan sesak nafas.

Menurut Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yakni Rozy Brilian Sodik, setidaknya terdapat 20 orang yang menjadi korban luka berat maupun ringan ketika aparat merangsek masuk ke kampung-kampung, bahkan sekolah.

Selain itu, masyarakat Rempang mengaku bahwa pada proses dialog yang dilakukan oleh BP Batam tidak bersifat partisipatif dan tidak akuntable, warga tidak diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasi dan hanya diminta untuk memenuhi kelengkapan administratif pendaftaran relokasi lahan yang telah ditentukan.

Mengenai konteks dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Kota Batam tersebut, saya memandang bahwa masih adanya praktik-praktik rezim yang memanfaatkan kekuasaannya demi kepentingan segelintir orang dan aparat pengamanan yang tidak memperhatikan nilai-nilai normatif dalam proses pengamanan pada konflik di Rempang, Batam.***

Dikutip dari tulisan Essay yang ditulis oleh Imran Maulana, peneliti di Savana Institute dan Ketua Yayasan Nurul Hikmah Cicurug.

Editors Team
Daisy Floren