OPINI: Gurita Mahar Politik Dan Pudarnya Budaya Malu, Semangat Gali Kuburnya Sendiri
PORTALBOGOR.COM, BOGOR - Akhir-akhir ini kita banyak dipertontonkan oleh prilaku pejabat publik yang semakin membuat kita geleng-geleng kepala atas masifnya kasus korupsi yang terjadi diberbagai instansi pemerintah. Mulai dari level pemerintah desa hingga level pejabat kementerian turut andil melakukan korupsi.
Wajar apabila publik memandang bahwa kewenangan dan kekuasaan yang diamanahkan kepada mereka hanyalah sebagai alat untuk menambah pundi-pundi kekayaannya saja. Hingga tanpa sadar masih banyak masyarakat yang sulit hidupnya, bahkan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primernya.
Terbaru bahkan Ketua KPK, yang notabene menjadi penegak utama pemberantasan korupsi justru menjadi terduga pelaku bahkan sudah ditetapkan sebagai tersangka pemerasan & gratifikasi terhadap salah satu menteri di kabinet Indonesia Maju oleh Polda Metro Jaya.
Tentu hal ini membuat kita sebagai masyarakat semakin skeptis pada upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, karena lembaga yang diharapkan menjadi penegak justru ikut bermain dalam kolam yang sama.
Dari semua rentetan kasus korupsi yang terjadi itu, pada akhirnya semakin membuat banyak pertanyaan dibenak kita tentang apa dan mengapa prilaku korupsi seakan sudah menjadi penyakit kronis yang sulit untuk disembuhkan ? Apa sebetulnya yang mendorong pejabat semakin berani untuk melakukan korupsi?
Budaya Mahar Politik, Cikal Bakal Korupsi Tumbuh Subur
Untuk bisa duduk dalam kursi pemerintahan di Indonesia, penggunaan mahar politik bukanlah hal baru. Menurut E.E. Schattschneider, politik adalah pertarungan untuk mengendalikan agenda politik, dan mahar politik merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut.
E.E. Schattschneider juga mengatakan bahwa kelompok atau individu yang memiliki sumber daya ekonomi yang cukup dapat menggunakan mahar politik untuk mempengaruhi proses politik dan memastikan bahwa isu-isu yang penting bagi mereka menjadi fokus perhatian politik.
Beberapa ahli juga banyak berpendapat bahwa mahar politik di Indonesia mencerminkan adanya hubungan yang erat antara politik dan ekonomi. Dukungan finansial atau materi dari calon kepada partai atau pejabat dapat menjadi faktor penentu dalam perebutan kekuasaan.
Sehingga mahar politik dianggap sebagai cara untuk memperkuat posisi politik dan memastikan dukungan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan ekonomi.
Disamping itu dengan adanya mahar politik juga menyebapkan terjadinya prinsip politik balik modal didalam diri seseorang yang menggunakan mahar politik sebagai cara untuk duduk di kekuasaan.
Dampaknya ia akan berupaya untuk bagaimana mendapatkan modalnya kembali dan dapat mengganti semua ongkos yang telah dikeluarkan, sehinggga berpotensi mengahalalkan segala cara termasuk perbuatan korupsi.
Krisis Moral Dan Pudarnya Budaya Malu, Menggali Kubur Sendiri
Maraknya kasus korupsi di Indonesia juga menandakan terjadinya krisis moral yang extream. Indonesia sendri merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, tentu melakukan pencurian baik terorganisir ataupun tidak jelas dalam Islam dengan tegas itu dilarang dan diharamkan.
Tapi ternyata menjadi negara dengan popolusi muslim terbesar saja tidak cukup untuk membebaskan negara ini dari perilaku koruptif. Pendidikan karakter dan moral yang ada di Indonesia belum mampu menciptakan generasi yang bebas dari perilaku korupsi.
Prilaku korupsi pada akhirnya dianggap biasa di masyarakat, kenapa begitu? Kita bisa melihat banyak mantan napi koruptor yang masih mendapatkan akses untuk berkecimpung kembali didunia politik. Seperti masih bisa nyaleg bahkan ada yang bisa menjadi Ketua Partai Politik, padahal mantan napi korupsi seakan-akan tidak ada lagi rasa malu.
Tidak adanya sanksi sosial yang keras akan menyebapkan perbuatan koruptif menjadi lumrah. Pelumrahan itu mendorong orang tidak takut untuk melakukan korupsi karena itu seharusnya selain diberikan hukuman penjara, pelaku korupsi juga jangan diberikan kembali akses untuk bisa masuk kembali ke ranah politik.
Pada akhirnya kita semua hanya bisa bisa berharap akan adanya perubahan di negeri ini. Tetapi perubahan itu juga tidak bisa terjadi jika tanpa adanya usaha. Oleh karna itu kita sebagai anak muda harus bisa menjadi lokomotif perubahan dan mewujudkan tatanan masyarakat yang diridhoi Allah SWT.***
Ditulis oleh Faqih Restu Maulana selaku Ketua HMI Koorkom Bogor Selatan.