Makan Siang 400 Triliun
PORTALBOGOR.COM, OPINI - Setiap kali saya mendengar ada orang yang berupaya memberi makan orang lain, hal itu selalu menyentuh perasaaan dihati. Entah latar belakangnya dari pemberi makan, atau dalam konteks kegiatan apapun makan diberikan, tetap selalu menyentuh hati.
Bukan karena gampang baper, tapi saya memandang tentang persoalan makan masih menjadi perhatian yang serius.
Tidak sedikit tindakan kejahatan dilakukan hanya karena perut kosong, atau peran seseorang justru tidak menjadi maksimal karena belum makan sehingga dirinya tidak bisa fokus.
Tindak Kejahatan Karena Kelaparan : Belajar Dari Warga Kelas III
Di Bogor misalnya, pada September lalu ada pemuda yang nekat mencuri kotak amal masjid yang ternyata dilakukan karena dirinya kelaparan. Kejadian itu di Citeureup, aksi pencurian itu kepergok oleh pengurus masjid hingga ternyata pelaku diberi makan setelah diketahui motif pencuriannya karena kelaparan.
Pemuda itu pun diberi makan sampai menghabiskan satu piring penuh, tambahan berupa roti juga dimakan hingga habis, bahkan kue dilahap sampai setengah kaleng. Pulangnya, si pelaku diberikan ongkos oleh pengurus masjid.
Di Tangerang Selatan, seorang ibu usia 44 tahun kepergok mencuri telur di minimarket hanya demi bisa memberi makan 3 anaknya dirumah. Ibu itu pun mengaku terpaksa mencuri telur untuk 3 anaknya yang kelaparan.
Suami ibu itu bekerja sebagai ojek online, dan mereka tinggal di kontrakan yang sederhana. Walaupun pihak minimarket melaporkan pencurian itu ke kepolisian, beruntung pihak kepolisian melakukan restorative justice. Pihak kepolisian menyelesaikan kasus itu dengan kekeluargaan dan langsung memberi sembako untuk ibu tersebut.
Terakhir di Parung Panjang, aksi mogok supir truk tambang dilakukan karena tak terima dengan pemberlakuan jam operasional oleh Pemkab Bogor. Sedangkan para supir dituntut oleh pihak perusahaan dengan targetan waktu yang sempit. Akhirnya para supir melakukan aksi mogok yang membuat kemacetan panjang di jalan raya.
Aksi mogok dilakukan dengan dalil bahwa mereka merupakan warga yang memiliki hak yang sama, ingin usahanya lancar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dirumah. Jika pekerjaannya tersendat karena aturan, sangat mungkin kebutuhan keluarganya dirumah tak tercukupi.
Yogi Mulyana bersama rekan-rekan HMI dalam penyerahan Dapur Bersama beserta asetnya kepada warga pada bencana gempa bumi di Cianjur 2022.
Makan Menjadi Kebutuhan Manusia Secara Biologis
Memang persoalan makan dan lapar merupakan hal yang serius. Makan adalah kebutuhan mendasar manusia, dan kelaparan merupakan kondisi yang normal karena ia makhluk biologis.
Tetapi jika karena makan bahkan kelaparan tidak dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri, maka sangat mungkin bakal menimbulkan tindakan kejahatan.
Sebetulnya kita bisa berargumentasi bahwa perkara makan dan lapar merupakan tindakan kebodohan oleh manusia itu sendiri, misalnya dengan berargumen; kenapa dia gk kerja? Atau lakukan usaha? Malah jadi maling.
Namun apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang dengan perut kosong dan tak ada daya upaya? Lantas mencuri menjadi pilihan instan dengan kesadarannya.
Entah dia telah mengkalkulasi segala resiko itu, dan hanya tindakan pencurian yang menjadi buah atas pikiran kosong tersebut. Tapi jelas bahwa ini menjadi permasalahan bersama.
Ketika Lapar, Warga Harus Berharap Kepada Siapa?
Maka ketika Prabowo menyampaikan gagasan terkait makan siang gratis, saya justu melihat itu sebagai gagasan yang gk ngawang-ngawang. Bukan karena saya dukung Prabowo, tetapi menyadari bahwa perkara makan masih menjadi masalah utama bangsa Indonesia.
Kendati program itu diklaim mencapai anggaran sebesar 400 triliun, namun itulah anggaran yang diatas kertas harus dihabiskan untuk menyelesaikan persoalan utama kita, yaitu untuk makan dan mencegah kelaparan.
Bagi warga kelas tiga, memang masalah yang dihadapi tidaklah terlalu tinggi, sangat mungkin pikiran dan hiruk pikuknya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup hari ini dan esok. Persis 3 kasus yang terjadi diatas, bagaimana pemuda mencuri kotak amal, ibu-ibu nekat mencuri telur, hingga supir mendemo, semuanya karena urusan perut.
Jika kita lakukan hitungan dengan kacamata peradaban memang jelek, bahwa kita masih mengurusi soal makan dan perut, tapi jika tidak diselesaikan atau ada upaya yang jelas, maka berapa banyak potensi kejahatan yang akan kita tanggung?
Lalu bisa saja ada juga yang berdalil bahwa program makan siang gratis dapat menimbulkan korupsi. Saya jawab itu menjadi konsekuensi logis, dan urusan yang lain dengan penegakan hukum.
Saya hanya ingin bilang; jika warga tidak berharap atas masalah ini dapat diselesaikan oleh Pemerintah, lantas kepada siapa ia akan berharap? Apakah berharap kepada pengurus masjid yang bijaksana? Atau kepada polisi yang baik hati?***
Selain aktif di media portalbogor.com dan portalsiber.id, penulis juga aktif di Savana Institut.